Melawan Pesimis

April 05, 2020



Tulisan ini didedikasikan untuk kita semua agar melawan ke-pesimis-an rasa terhadap pendidikan Indonesia. Mari kita membalas segala pesimis, habisi dia, karena kita adalah harapan.





Mari kita mulai.

Raut wajah yang bernada panik dan pasrah meramaikan dunia saat ini. Mewabahnya sebuah pandemi yang membuat dunia seolah lumpuh. Dunia, yang kita kejar-kejar saat ini mungkin hampir mati. Yang banyak harta mungkin lebih takut mati ketimbang yang miskin – yang lebih sering berhadapan dengan kematian, entah itu karena penyakit yang gak bisa diobati oleh uang ataupun oleh suara perut yang menyatakan perang dan menyerang habis-habisan si manusia sampai terkapai, lunglai, dan meninggal. Yang miskin sudah terbiasa menghadapi hal-hal yang demikian, rasanya mencapai kematian adalah bentuk pencapaian diri terbaik saat kesusahan tak lagi membututinya.

Pesimis, sudah akrab dengan hari-harinya. Mungkin tidak semua, tapi kebanyakan mereka memang berteman dengan rasa pesimis dan tidak menganggap ada sebuah optimistis. Padahal setiap ruh yang ditiupkan juga dititipkan peran dan harapan. Peran mereka mungkin memang bukan seseorang dengan segala privilege-nya, namun harusnya harapan akan selalu ada.

”Si miskin, mungkin bisa kita analogikan sebagai gambaran kualitas pendidikan di Indonesia.”, begitulah kata banyak orang.

Padahal, “kemiskinan” bukanlah bentuk dari berakhirnya  sebuah harapan. Sampai akhirnya hanya kita sendiri yang bisa memutuskan, apakah kita masih bisa mempercayai harapan yang dititipkan?

Ya, apakah kita masih bisa pada percaya bahwa suatu saat pendidikan di Indonesia pun akan sampai pada tahap kematangannya, tahap “akil baligh”-nya?

Alih-alih percaya dan membuat perubahan, kita cenderung untuk membicarakan yang sudah-sudah, berulang-ulang sampai berhari-hari. Oh.. bahkan bertahun-tahun masalah pendidikan selalu di-gibahkan dan dianggap sebagai hal yang sudah hancur, bukan lagi suatu hal yang rusak – yang setidaknya masih bisa kita perbaiki.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dari mebicarakan buruk-buruknya pendidikan di negeri sendiri yang memang kenyataannya seperti itu. Tapi, bisakah kita membicarakannya tidak dengan rasa pesimis? Ataukah kita lupa bahkan tidak sadar bahwa kita semua adalah bahan bakar harapan itu?

Kemarin kita semua mungkin masih pesimis, masih miskin akan harapan, tapi bukan berarti kita selesai. Kita belum berakhir, jadi mari kita mulai pergerakan-pergerakan kecil yang bisa membantu memperbaiki ini semua. Kalau bingung harus berbuat dari mana, kita bisa mendukung teman-teman kita yang sudah memulai start-nya dengan membuat pergerakan-pergerakan kecil tersebut. Percaya, bahwa setiap pergerakan-pergerakan baik walau kecil yang terhimpun pun lama-lama akan jadi pergerakan besar. Tapi teman-teman kita gak bisa sendiri, mereka butuh dukungan kita – orang-orang yang masih penuh harapan dan masih percaya. Untuk sebagian lain yang mungkin harapan dan rasa percayanya sudah benar-benar mati, semoga bisa tergugah saat melihat dunia sekitarnya sudah bergerak, dunia yang dianggapnya tidak akan memengaruhi apa-apa, tadinya.

Sekarang, tinggal kita yang bangkit. Bangkit menyusun pecahan harapan dan kepercayaan yang pernah ada agar utuh kembali. Kita mungkin marah terhadap pemegang-pemegang kuasa yang harusnya bisa membuat perubahan malah tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tapi, tolong  tetap percaya, bahwa kita bisa memulai semuanya dari akar, kita sama-sama isi akar itu dengan nutrisi. Ya, mulai semuanya dari bawah, pergerakan baik walau kecil, lama-lama akan merembet dan menjadi skema pergerakan yang lebih luas lagi. Akar yang ternutrisi akan menjadi batang, daun, bunga, bahkan buah. Meninggi dan menjadi sangat indah.

Tidak ada kita, maka tidak ada harapan.


Menjaga kewarasan kita, sama dengan menjaga bahan bakar harapan, maka itu juga sama dengan menjaga segala harapan. Mulai sekarang, mari kita membicarakannya dengan lebih optimis, kita lawan segala bentuk kepesimisan, karena kita adalah harapan.

Satu-satunya yang bisa percaya sama diri kita, sama negeri kita, ya hanya kita sendiri. Kita coba buat perubahan, dari langkah pertama, melalui jalan rintangan, menuju harapan.

-sb-


Nb: menulis ini karena selalu resah sama pendidikan di negeri kita, terlebih dengan adanya pandemi covid-19 dan ternyata banyak masyarakat yang belum teredukasi dengan baik akan hal ini. Mungkin kalian yang baca ini bingung dan akan berpikir, “I have nothing to do.” sama, aku pun begitu. Tapi, setidaknya kita jaga kewarasan kita dari rasa pesimis terhadap pendidikan, sekarang mungkin nothing to do, tapi di kemudian hari bisa jadi something to do. Cheers!

You Might Also Like

0 Comments

Popular Posts

@silvyabudiharti