Tulisan ini
didedikasikan untuk kita semua agar melawan ke-pesimis-an rasa terhadap
pendidikan Indonesia. Mari kita membalas segala pesimis, habisi dia, karena
kita adalah harapan.
Mari kita mulai.
Raut wajah yang bernada panik dan
pasrah meramaikan dunia saat ini. Mewabahnya sebuah pandemi yang membuat dunia
seolah lumpuh. Dunia, yang kita kejar-kejar saat ini mungkin hampir mati. Yang
banyak harta mungkin lebih takut mati ketimbang yang miskin – yang lebih sering
berhadapan dengan kematian, entah itu karena penyakit yang gak bisa diobati
oleh uang ataupun oleh suara perut yang menyatakan perang dan menyerang
habis-habisan si manusia sampai terkapai, lunglai, dan meninggal. Yang miskin
sudah terbiasa menghadapi hal-hal yang demikian, rasanya mencapai kematian
adalah bentuk pencapaian diri terbaik saat kesusahan tak lagi membututinya.
Pesimis, sudah akrab dengan
hari-harinya. Mungkin tidak semua, tapi kebanyakan mereka memang berteman
dengan rasa pesimis dan tidak menganggap ada sebuah optimistis. Padahal setiap
ruh yang ditiupkan juga dititipkan peran dan harapan. Peran mereka mungkin
memang bukan seseorang dengan segala privilege-nya,
namun harusnya harapan akan selalu ada.
”Si miskin, mungkin bisa kita
analogikan sebagai gambaran kualitas pendidikan di Indonesia.”, begitulah kata
banyak orang.
Padahal, “kemiskinan” bukanlah
bentuk dari berakhirnya sebuah harapan.
Sampai akhirnya hanya kita sendiri yang bisa memutuskan, apakah kita masih bisa
mempercayai harapan yang dititipkan?
Ya, apakah kita masih bisa pada
percaya bahwa suatu saat pendidikan di Indonesia pun akan sampai pada tahap
kematangannya, tahap “akil baligh”-nya?
Alih-alih percaya dan membuat
perubahan, kita cenderung untuk membicarakan yang sudah-sudah, berulang-ulang
sampai berhari-hari. Oh.. bahkan bertahun-tahun masalah pendidikan selalu
di-gibahkan dan dianggap sebagai hal yang sudah hancur, bukan lagi suatu hal
yang rusak – yang setidaknya masih bisa kita perbaiki.
Sebenarnya, tidak ada yang salah
dari mebicarakan buruk-buruknya pendidikan di negeri sendiri yang memang
kenyataannya seperti itu. Tapi, bisakah kita membicarakannya tidak dengan rasa
pesimis? Ataukah kita lupa bahkan tidak sadar bahwa kita semua adalah bahan
bakar harapan itu?
Kemarin kita semua mungkin masih
pesimis, masih miskin akan harapan, tapi bukan berarti kita selesai. Kita belum
berakhir, jadi mari kita mulai pergerakan-pergerakan kecil yang bisa membantu
memperbaiki ini semua. Kalau bingung harus berbuat dari mana, kita bisa
mendukung teman-teman kita yang sudah memulai start-nya dengan membuat pergerakan-pergerakan kecil tersebut.
Percaya, bahwa setiap pergerakan-pergerakan baik walau kecil yang terhimpun pun
lama-lama akan jadi pergerakan besar. Tapi teman-teman kita gak bisa sendiri,
mereka butuh dukungan kita – orang-orang yang masih penuh harapan dan masih
percaya. Untuk sebagian lain yang mungkin harapan dan rasa percayanya sudah
benar-benar mati, semoga bisa tergugah saat melihat dunia sekitarnya sudah bergerak,
dunia yang dianggapnya tidak akan memengaruhi apa-apa, tadinya.
Sekarang, tinggal kita yang
bangkit. Bangkit menyusun pecahan harapan dan kepercayaan yang pernah ada agar
utuh kembali. Kita mungkin marah terhadap pemegang-pemegang kuasa yang harusnya
bisa membuat perubahan malah tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tapi,
tolong tetap percaya, bahwa kita bisa
memulai semuanya dari akar, kita sama-sama isi akar itu dengan nutrisi. Ya,
mulai semuanya dari bawah, pergerakan baik walau kecil, lama-lama akan merembet
dan menjadi skema pergerakan yang lebih luas lagi. Akar yang ternutrisi akan
menjadi batang, daun, bunga, bahkan buah. Meninggi dan menjadi sangat indah.
Tidak ada kita, maka tidak ada harapan.
Menjaga kewarasan kita, sama
dengan menjaga bahan bakar harapan, maka itu juga sama dengan menjaga segala
harapan. Mulai sekarang, mari kita membicarakannya dengan lebih optimis, kita
lawan segala bentuk kepesimisan, karena kita adalah harapan.
Satu-satunya yang bisa percaya
sama diri kita, sama negeri kita, ya hanya kita sendiri. Kita coba buat
perubahan, dari langkah pertama, melalui jalan rintangan, menuju harapan.
-sb-
Nb: menulis ini karena selalu
resah sama pendidikan di negeri kita, terlebih dengan adanya pandemi covid-19
dan ternyata banyak masyarakat yang belum teredukasi dengan baik akan hal ini.
Mungkin kalian yang baca ini bingung dan akan berpikir, “I have nothing to do.” sama, aku pun begitu. Tapi, setidaknya kita
jaga kewarasan kita dari rasa pesimis terhadap pendidikan, sekarang mungkin nothing to do, tapi di kemudian hari
bisa jadi something to do. Cheers!