Novel Arus Bawah karya Emha Ainun Nadjib (Review)

April 25, 2020





Novel ini adalah novel karya Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun pertama yang aku baca. Awalnya, seorang teman memberi pinjam buku ini, katanya, “Coba deh lu baca, wa. Susah deh ngertinya.”
Dari situ muncullah rasa penasaran, “emang kayak apa sih? Apa sesusah itu?”. Akhirnya, aku minjem dan.. baca.

Reaksi pas awal baca, “ternyata bener, sesusah itu.”, “haduh, gak kuat lah gue baru berapa halaman padahal.” Ya, begitulah reaksinya, dan ternyata benar apa yang dibilang sama teman, susah.

Udah baca sampai halaman dua puluh-an, tapi sampai situ juga belum paham arah dari cerita di novel ini. Baru paham setelah masuk ke halaman lima puluh-an, wow!

Kalau mau tau kenapa novel ini susah dipahami di awal, itu karena bahasa yang digunakan dalam novel ini banyak mengandung diksi atau kosa kata yang asing buat orang awam kaya aku, contohnya seperti transnasionalisasi, realitas objektif, legitimasi spiritualitas, dan lain-lain. Ribet kan?! Selain itu, di awal baca kalian pasti akan ngerasa pusing karena harus beradaptasi dengan nama-nama tokoh dalam novel tersebut yang menggunakan istilah-istilah pewayangan dan punakawan serta nama-nama latar yang berkhas-kan Indonesia, tapi tetep itu dari cerita pewayangan. Seperti Kiai Semar, dan ketiga anaknya: Gareng, Petruk, dan si bungsu Bagong.

Tapi, kalau kalian udah mulai bisa beradaptasi dengan para tokoh dan latar, dan udah mulai mengerti alur ceritanya, pasti akan ada rasa penasaran tentang gimana kelanjutan ceritanya.

“Emang intinya tentang apa, sih?”

Jadi, di novel ini kita akan diajak buat ngikutin perjalanannya para Punakawan (Kiai Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) dalam menjalankan misinya di Marcapada alias kehidupan di dunia untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, eh bukan, tapi memperingatkan orang-orang atau pemimpin-pemimpin yang tidak berlaku benar dan adil.

Dari novel ini, aku ngerasa kalau Cak Nun sebenernya bukan hanya sedang mengeluarkan imajinasinya di novel ini, tapi juga uneg-unegnya terhadap pemerintahan, terutama orde baru. Melalui novel ini juga Cak Nun mengkritik pemerintah melalui analogi-analogi pewayangan, yang dikritik perihal baik itu keadaan pemerintahannya dan juga mental-mental rakyatnya.

Hal itu bisa dilihat dari kutipan ini:

“Ada negeri yang membungkam mulut penduduknya, tapi menjamin sandang pangan mereka. Ada lagi negeri yang membebaskan orang mengeluarkan kentut sebau apa pun, tapi soal nafkah mereka harus bersaing. Lha, di Karang Kedempel ini untuk memperoleh segobang, kita harus bersaing melawan komplotan-komplotan buaya dan kadal, sementara ke dalam mulut kita disumpalkan kain lap campur oli pabrik dan serbuk mesiu!” (Arus Bawah, 76)

Mungkin karena itulah, Cak Nun memilih nama-nama tokoh dari pewayangan karena dari nama-nama itu Cak Nun juga berusaha memberikan makna tersirat dari peran dan isi hati nurani rakyat di negara ini.

Dan itulah yang aku suka dari novel ini. Banyak banget pesan-pesan yang sangat dekat dengan kehidupan kita sebagai rakyat, baik rakyat yang cuek-cuek aja dengan masalah negaranya ataupun rakyat yang sangat menggebu-gebu kalau udah ngomongin masalah di negaranya. Semua tergambar dari kelakuan tokoh-tokoh di novel ini.





A post shared by Silvya Budiharti (@silvyabudiharti) on


Di sini, Cak Nun mau ngasih tau kita kalau gak masalah kalau keberadaan kita gak dianggap, yang penting jalani tugas masing-masing di kehidupannya, karena semua ya sudah ada porsi dan jalannya.

Pesan selanjutnya dalam pict ini:

“karena makin lama makin sedikit orang yang omong benar.” Di sini Cak Nun berusaha mengingatkan kita kalau jangan-jangan kita begitu, gak berbuat dan berkata kebenaran. Alih-alih berkata kebenaran, kita cenderung memilih jalan yang salah asal nyaman, padahal ya sama aja kayak kita menyesatkan diri sendiri.

Selain itu, ini dia pict yang menurutku menarik, sila maknai pesannya sendiri, ya. (kayaknya di sini Cak Nun mengarah ke pemerintah)



Kalau seandainya novel ini di-remake dengan menggunakan standar bahasa orang awam, pasti bakal menarik banget karena pesan-pesan dalam novel ini bakal jadi lebih mudah dicerna. Sayang banget sebenernya kalau banyak yang gak ngerti dengan pesan yang berusaha Cak Nun sampaikan di buku ini, padahal pesan-pesannya sangat menohok, terutama terhadap pemerintah.

Karena ini pertama kali baca karyanya Cak Nun, jadi aku belum bisa menyimpulkan apakah setiap karya Cak Nun menggunakan gaya bahasa yang sama atau engga. Tapi keseluruhan buku ini bagus banget dan aku pengen banget kalian, pemuda-pemuda bangsa ((cielah)) buat baca buku ini.

Sudah dulu, ya. Semoga nanti akan ada review-review yang lain (tolong bantu aamiin-in buat saya yang pemalas ini), terima kasih 🌻🌻🌻

Salam.

You Might Also Like

0 Comments

Popular Posts

@silvyabudiharti